Problems: An Issue on An Issue
Okay, are you anxious about other people's thoughts toward you? Pernahkah kamu merasa tidak nyaman dengan kiriman sesorang di media sosial? Pernahkah kamu merasa bahwa kamu hanya sebernilai tatapan yang diberikan padamu?
Semua orang pasti pernah mengalami ketidaknyamanan. Tapi bagaimana jika ketidaknyamanan itu berlangsung terus-menerus? Bagaimana jika ketidaknyamanan dari luar itu malah membuat kita tidak nyaman dengan diri kita sendiri? Atau lebih buruk, kehilangan diri kita sendiri?
Pemikiran seperti 'saya memiliki masalah mental' dan 'mental saya bermasalah', benar-benar bukan sesuatu yang kita ingin pikirkan. Bahkan pemikiran sesederhana 'apa yang salah dengan saya?' benar-benar bisa menjerumuskan kita pada hal yang tidak-tidak.
Dalam sebuah kiriman pada akun informasi visual Insider, disebutkan bahwa 1/3 mahasiswa tahun pertama di Amerika Serikat memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya. Kebanyakan mereka memerlukan penanganan intra kampus terhadap masalah mental itu. Fenomena itu membuat kebutuhan akan lembaga konseling meningkat lebih cepat dibanding keberlangsungan perkuliahan itu sendiri.
Masalah mental dengan kaitannya terhadap perkuliahan, sebenarnya bukan terkait dengan perkuliahan itu sendiri. Kebanyakan adalah masalah pada lingkungan baru, orang-orang baru, pengalaman baru-seperti pertama kali tinggal terpisah dari orang tua atau pertama kalinya bebas dari pengawasan orang tua- serta performansi eksistensi diri.
Masalah mental bukanlah hal yang mudah untuk dikenali. Tindakan baru dapat diambil jika yang bersangkutan mau dan berkeinginan untuk terbuka dan menceritakan perasaan dan pengalamannya.
Saya pun pernah mengalami krisis terhadap diri sendiri. Berlangsung sejak akhir semester ganjil tahun pertama hingga pertengahan semester genap di tahun kedua, sungguh tidak mudah hidup dengan pemikiran bahwa 'kamu memiliki masalah' dan 'kamu bisa lebih baik daripada ini'.
Saat itu saya yang baru pertama kali keluar dari pengawasan orang tua karena memilih melanjutkan studi di kota yang cukup jauh, merasa bahwa saya-yang secara garis besar adalah anak rumahan-tidak cocok dengan lingkungan tempat tinggal saya yang, katakanlah, cukup terbuka. Saya merasa berbeda karena pengalaman sosial saya jauh di belakang teman-teman di tempat tinggal saya yang baru ini.
Saya merasa bahwa saya tidak bisa mengikuti laju langkah teman-teman di lingkungan saya, namun kemudian saya berusaha mengatasinya dengan berpikir bahwa semua orang memiliki lajunya masing-masing dan saya hanya perlu terus melangkah. Oke, satu kali sudah teratasi. Kemudian, masalah baru, muncul lagi. Saya ditegur karena saya terlalu pelit terhadap barang-barang saya. Dengan berdasar hidup bersama, saya dinilai terlalu perhitungan terhadap kepunyaan saya. Istilahnya, posesif. Perlu diketahui, saya orang yang sentimental, dengan benda berharga, suara, bahkan wewangian. Segala sesuatu memiliki nilainya sendiri. Saya yang sensitif jelas tersinggung dengan prinsip saya yang overprotective dengan barang kepunyaan saya, tapi saya anak yang lemah, sejak kecil sangat menghindari konflik dengan orang lain. Daripada berkelahi dan memiliki masalah, kalau bisa mengalah, kenapa tidak? Jadi, dengan teguran itu, saya mengalah tanpa penjelasan bahwa saya seperti ini; bahwa ada nilai yang saya ingin jaga. Oke, masalah ini mungkin selesai, tapi trauma karena nilai itu dicoreng ternyata mengakar secara perlahan.
Masalah lain muncul ketika ada seorang kawan yang, katakanlah, sang dominan yang cukup dekat dengan saya, juga dekat dengan orang baru yang saya kenalkan. Kawan saya ini ternyata lebih senang berkawan dengan orang baru ini ketimbang saya, si kawan lama, karena, well, dia jauh lebih cantik, modis, dan berbakat ketimbang saya. Setidaknya itulah pertimbangan orang-orang jika harus memilih antara saya dengan teman saya yang itu. Saya akui, saya berlebihan jika saya cemburu dengan kedekatan mereka. Saya tidak cemburu, tapi saya sakit hati. Ketika saya dan teman saya berada dalam satu lingkungan, saya merasa orang-orang lebih mengakui keberadaannya daripada usaha saya untuk terlihat. Saya menjadi orang yang overthink dan overtranslating, karena saya selalu menerjemahkan perlakuan orang dengan arti yang menurut saya benar, tapi menyakiti perasaan saya.
Jujur saja, saat itu saya merasa dibuang. Saya merasa bahwa semua orang benar-benar a piece of sh*t. Sebenarnya tidak semua orang seperti itu. Saya masih menemukan orang yang menghargai saya sebagaimana adanya saya, namun kesibukan pribadi membuat kami tidak pernah duduk bersama dalam waktu yang lama sehingga membuat saya merasa memiliki teman dekat. Si kawan ini, seperti yang saya katakan tadi, memiliki pembawaan yang mendominasi, sehingga pengaruhnya, harus diakui, cukup besar. Cukup besar sehingga membuat kamu berfikir bahwa jika dia tidak menghargai kamu, maka kamu tidak berharga lagi. Seperti itulah yang saya rasakan dalam rentang waktu hampir tiga semester.
Bisakah kalian bayangkan, betapa menyedihkannya mahasiswa tahun pertama dengan pengalaman yang serba pertama menghadapi krisis semacam itu? Berapa kali saya menangis tanpa suara; berapa banyak self-encouraging yang saya tulis dalam bahasa asing semata agar hanya saya yang mengerti dan menjadi kuat. Saya malu jika orang lain tahu bahwa saya merasa direndahkan. Saya takut dengan pemikiran bahwa 'dia saja merasa dirinya rendah, berarti saya boleh merendahkan dia juga'. Saya takut dengan pemikiran orang-orang yang seperti itu. Saya tidak tahu jenis anxiety atau insekuritas macam apa yang saya rasakan, tapi saya tahu bahwa itu sangat tidak sehat.
'Kamu mungkin saja depresi, tapi pastikan dulu bahwa dirimu tidak dikelilingi assholes dan pathethics', begitu ujar sebuah kalimat yang saya baca. Saya tidak paham apa maksudnya. Saya paham bahwa saya tidak nyaman, dan ada orang yang membuat saya tidak nyaman. Saya paham bahwa ini adalah emotional abuse dari cara berbicaranya yang berbeda pada saya dan teman saya; bagaimana ajakan bertemunya pada saya yang terdengar seperti sekadar formalitas saja.
Lalu, bagaimana hubungan saya dengan kawan saya yang ini? Kami baik saja. Kami selalu bertegur sapa dan berada di lingkungan yang sama. Kenapa bisa? Tentu bisa. Seberapa sering saya merasa tidak nyaman dengannya? Seringkali tidak nyaman, baik saat sendiri maupun di hadapan publik. Semudah itu saya melupakan sikapnya? Tidak mudah dan saya tidak lupa seberapa hancurnya perasaan saya.
Tapi, kemudian, orang-orang berubah. Entah sejak kapan self-encouraging dengan banyak ornamen indah di sekelilingnya sudah tidak tertempel lagi di dinding kamar saya, untuk kemudian berganti dengan jadwal kesibukan harian dan mingguan. Entah sejak kapan saya tidak ambil pusing dengan sikapnya, sesederhana saya sadar bahwa saya hanya perlu membuktikan diri kepada orang-orang yang lebih penting, dan dia tidak termasuk ke dalamnya. Entah sejak kapan saya terbiasa mengabaikan keberadaannya, semudah fakta bahwa saya lebih banyak menulis pemikiran atau sajak di gawai daripada berbicara dengannya secara tatap muka-bukannya akan berguna juga jika saya bertukar pikiran dengannya. Karena, seperti yang saya katakan tadi, dia memiliki pembawaan yang cukup dominan dan saya merasa mengkerut jika harus berhadapan dengannya-sebenarnya justru akan membuat saya merasa kehilangan diri saya. Cara terbaik menghadapi orang seperti itu versi saya? Abaikan saja.
Tapi kemudian, sekali lagi, orang-orang berubah. Pain alter person. Saya yang kelewat acuh ternyata membuatnya merasa tidak nyaman. Giliran dia yang merasa bahwa saya tidak menghargainya lagi, padahal saya menghindari tatapannya karena saya tidak kuat. Dia, dengan keberanian yang bulat mendatangi saya untuk meluruskan tatapan saya yang dirasanya tidak menghargai itu. Saya salut dengan keberaniannya. Saya tidak akan pernah seberani dia, jika berkaitan dengan hal-hal seperti itu. Kami berhadapan dan bicara. Wajah kami sudah penuh dengan air mata dan ingus, sampai tidak tahu lagi seperti apa bentuknya. Ketika dia bertanya mengapa saya berubah, ingin sekali saya memintanya berkaca dan melihat ke belakang, atas apa yang sudah dilakukannya kepada saya. Tapi, tidak. Saya cukup menjelaskan bahwa semua orang berubah, terserah jika ia ingin mengaitkan perubahan saya dengannya atau tidak, yang terpenting adalah saya sudah melepaskan beban saya sendiri. Ya sudah, kami selesai, peduli setan dia mengerti atau tidak. Yang saya pegang adalah, 'you don't have to explain yourself to others'.
Saya beruntung saya pelupa, meskipun sakitnya tidak akan pernah terlupa. Setidaknya ada waktu untuk sembuh di antara timbul tenggelamnya trauma itu, dan saya secara perlahan merasa memiliki diri saya yang utuh lagi.
Permasalahan seperti ini klasik dan ada berbagai macam versi dan fase. Tapi jika victim tidak menemukan cara terbaik untuk melalui hal-hal klasik semacam ini, mungkin saja dampaknya akan tidak baik bagi dirinya.
Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, saya beruntung bisa sembuh, karena akhirnya terlatih acuh dan simply karena saya pelupa. Orang lain dengan masalah yang sama di luar sana, mungkin masih menangis dalam diam dan takut untuk menghadapi orang-orang seperti kawan saya. Cara menghadapi trauma antar individu jelas berbeda. Semua orang memiliki lajunya, lajurnya, dan caranya sendiri. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah ketahui tujuanmu, sebuah prinsip yang membuatmu merasa bahwa kamu pun bisa kuat untuk baik, bukan bahwa kamu pun bisa membalasnya. Entah baik karena kamu peduli dirimu sendiri atau baik dengan mengalihkan energi itu untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan dan menghargaimu.
Kepada semua orang yang sedang melewati fasenya sendiri, yakinlah bahwa semua ketidaknyamanan ini bukanlah untuk menghilangkan eksistensi kamu dalam lingkaran sosial, tetapi untuk menguatkanmu saat kamu tidak memliki siapapun lagi, saat kamu hanya seorang diri.
Seperti yang Maya Angelou pernah katakan, "You, alone, are enough". Apakah saya kenal siapa Maya Angelou? Tidak. Lalu, apakah kata-katanya bisa menyembuhkan saya? Ya.
Cukup miliki satu hal yang kamu percaya, dan kamu akan tumbuh ke arah cahaya yang kamu ciptakan dari keyakinanmu.
Malang
September, 25th 2018
01:32 a.m.
Semua orang pasti pernah mengalami ketidaknyamanan. Tapi bagaimana jika ketidaknyamanan itu berlangsung terus-menerus? Bagaimana jika ketidaknyamanan dari luar itu malah membuat kita tidak nyaman dengan diri kita sendiri? Atau lebih buruk, kehilangan diri kita sendiri?
Pemikiran seperti 'saya memiliki masalah mental' dan 'mental saya bermasalah', benar-benar bukan sesuatu yang kita ingin pikirkan. Bahkan pemikiran sesederhana 'apa yang salah dengan saya?' benar-benar bisa menjerumuskan kita pada hal yang tidak-tidak.
Dalam sebuah kiriman pada akun informasi visual Insider, disebutkan bahwa 1/3 mahasiswa tahun pertama di Amerika Serikat memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya. Kebanyakan mereka memerlukan penanganan intra kampus terhadap masalah mental itu. Fenomena itu membuat kebutuhan akan lembaga konseling meningkat lebih cepat dibanding keberlangsungan perkuliahan itu sendiri.
Masalah mental dengan kaitannya terhadap perkuliahan, sebenarnya bukan terkait dengan perkuliahan itu sendiri. Kebanyakan adalah masalah pada lingkungan baru, orang-orang baru, pengalaman baru-seperti pertama kali tinggal terpisah dari orang tua atau pertama kalinya bebas dari pengawasan orang tua- serta performansi eksistensi diri.
Masalah mental bukanlah hal yang mudah untuk dikenali. Tindakan baru dapat diambil jika yang bersangkutan mau dan berkeinginan untuk terbuka dan menceritakan perasaan dan pengalamannya.
Saya pun pernah mengalami krisis terhadap diri sendiri. Berlangsung sejak akhir semester ganjil tahun pertama hingga pertengahan semester genap di tahun kedua, sungguh tidak mudah hidup dengan pemikiran bahwa 'kamu memiliki masalah' dan 'kamu bisa lebih baik daripada ini'.
Saat itu saya yang baru pertama kali keluar dari pengawasan orang tua karena memilih melanjutkan studi di kota yang cukup jauh, merasa bahwa saya-yang secara garis besar adalah anak rumahan-tidak cocok dengan lingkungan tempat tinggal saya yang, katakanlah, cukup terbuka. Saya merasa berbeda karena pengalaman sosial saya jauh di belakang teman-teman di tempat tinggal saya yang baru ini.
Saya merasa bahwa saya tidak bisa mengikuti laju langkah teman-teman di lingkungan saya, namun kemudian saya berusaha mengatasinya dengan berpikir bahwa semua orang memiliki lajunya masing-masing dan saya hanya perlu terus melangkah. Oke, satu kali sudah teratasi. Kemudian, masalah baru, muncul lagi. Saya ditegur karena saya terlalu pelit terhadap barang-barang saya. Dengan berdasar hidup bersama, saya dinilai terlalu perhitungan terhadap kepunyaan saya. Istilahnya, posesif. Perlu diketahui, saya orang yang sentimental, dengan benda berharga, suara, bahkan wewangian. Segala sesuatu memiliki nilainya sendiri. Saya yang sensitif jelas tersinggung dengan prinsip saya yang overprotective dengan barang kepunyaan saya, tapi saya anak yang lemah, sejak kecil sangat menghindari konflik dengan orang lain. Daripada berkelahi dan memiliki masalah, kalau bisa mengalah, kenapa tidak? Jadi, dengan teguran itu, saya mengalah tanpa penjelasan bahwa saya seperti ini; bahwa ada nilai yang saya ingin jaga. Oke, masalah ini mungkin selesai, tapi trauma karena nilai itu dicoreng ternyata mengakar secara perlahan.
Masalah lain muncul ketika ada seorang kawan yang, katakanlah, sang dominan yang cukup dekat dengan saya, juga dekat dengan orang baru yang saya kenalkan. Kawan saya ini ternyata lebih senang berkawan dengan orang baru ini ketimbang saya, si kawan lama, karena, well, dia jauh lebih cantik, modis, dan berbakat ketimbang saya. Setidaknya itulah pertimbangan orang-orang jika harus memilih antara saya dengan teman saya yang itu. Saya akui, saya berlebihan jika saya cemburu dengan kedekatan mereka. Saya tidak cemburu, tapi saya sakit hati. Ketika saya dan teman saya berada dalam satu lingkungan, saya merasa orang-orang lebih mengakui keberadaannya daripada usaha saya untuk terlihat. Saya menjadi orang yang overthink dan overtranslating, karena saya selalu menerjemahkan perlakuan orang dengan arti yang menurut saya benar, tapi menyakiti perasaan saya.
Jujur saja, saat itu saya merasa dibuang. Saya merasa bahwa semua orang benar-benar a piece of sh*t. Sebenarnya tidak semua orang seperti itu. Saya masih menemukan orang yang menghargai saya sebagaimana adanya saya, namun kesibukan pribadi membuat kami tidak pernah duduk bersama dalam waktu yang lama sehingga membuat saya merasa memiliki teman dekat. Si kawan ini, seperti yang saya katakan tadi, memiliki pembawaan yang mendominasi, sehingga pengaruhnya, harus diakui, cukup besar. Cukup besar sehingga membuat kamu berfikir bahwa jika dia tidak menghargai kamu, maka kamu tidak berharga lagi. Seperti itulah yang saya rasakan dalam rentang waktu hampir tiga semester.
Bisakah kalian bayangkan, betapa menyedihkannya mahasiswa tahun pertama dengan pengalaman yang serba pertama menghadapi krisis semacam itu? Berapa kali saya menangis tanpa suara; berapa banyak self-encouraging yang saya tulis dalam bahasa asing semata agar hanya saya yang mengerti dan menjadi kuat. Saya malu jika orang lain tahu bahwa saya merasa direndahkan. Saya takut dengan pemikiran bahwa 'dia saja merasa dirinya rendah, berarti saya boleh merendahkan dia juga'. Saya takut dengan pemikiran orang-orang yang seperti itu. Saya tidak tahu jenis anxiety atau insekuritas macam apa yang saya rasakan, tapi saya tahu bahwa itu sangat tidak sehat.
'Kamu mungkin saja depresi, tapi pastikan dulu bahwa dirimu tidak dikelilingi assholes dan pathethics', begitu ujar sebuah kalimat yang saya baca. Saya tidak paham apa maksudnya. Saya paham bahwa saya tidak nyaman, dan ada orang yang membuat saya tidak nyaman. Saya paham bahwa ini adalah emotional abuse dari cara berbicaranya yang berbeda pada saya dan teman saya; bagaimana ajakan bertemunya pada saya yang terdengar seperti sekadar formalitas saja.
Lalu, bagaimana hubungan saya dengan kawan saya yang ini? Kami baik saja. Kami selalu bertegur sapa dan berada di lingkungan yang sama. Kenapa bisa? Tentu bisa. Seberapa sering saya merasa tidak nyaman dengannya? Seringkali tidak nyaman, baik saat sendiri maupun di hadapan publik. Semudah itu saya melupakan sikapnya? Tidak mudah dan saya tidak lupa seberapa hancurnya perasaan saya.
Tapi, kemudian, orang-orang berubah. Entah sejak kapan self-encouraging dengan banyak ornamen indah di sekelilingnya sudah tidak tertempel lagi di dinding kamar saya, untuk kemudian berganti dengan jadwal kesibukan harian dan mingguan. Entah sejak kapan saya tidak ambil pusing dengan sikapnya, sesederhana saya sadar bahwa saya hanya perlu membuktikan diri kepada orang-orang yang lebih penting, dan dia tidak termasuk ke dalamnya. Entah sejak kapan saya terbiasa mengabaikan keberadaannya, semudah fakta bahwa saya lebih banyak menulis pemikiran atau sajak di gawai daripada berbicara dengannya secara tatap muka-bukannya akan berguna juga jika saya bertukar pikiran dengannya. Karena, seperti yang saya katakan tadi, dia memiliki pembawaan yang cukup dominan dan saya merasa mengkerut jika harus berhadapan dengannya-sebenarnya justru akan membuat saya merasa kehilangan diri saya. Cara terbaik menghadapi orang seperti itu versi saya? Abaikan saja.
Tapi kemudian, sekali lagi, orang-orang berubah. Pain alter person. Saya yang kelewat acuh ternyata membuatnya merasa tidak nyaman. Giliran dia yang merasa bahwa saya tidak menghargainya lagi, padahal saya menghindari tatapannya karena saya tidak kuat. Dia, dengan keberanian yang bulat mendatangi saya untuk meluruskan tatapan saya yang dirasanya tidak menghargai itu. Saya salut dengan keberaniannya. Saya tidak akan pernah seberani dia, jika berkaitan dengan hal-hal seperti itu. Kami berhadapan dan bicara. Wajah kami sudah penuh dengan air mata dan ingus, sampai tidak tahu lagi seperti apa bentuknya. Ketika dia bertanya mengapa saya berubah, ingin sekali saya memintanya berkaca dan melihat ke belakang, atas apa yang sudah dilakukannya kepada saya. Tapi, tidak. Saya cukup menjelaskan bahwa semua orang berubah, terserah jika ia ingin mengaitkan perubahan saya dengannya atau tidak, yang terpenting adalah saya sudah melepaskan beban saya sendiri. Ya sudah, kami selesai, peduli setan dia mengerti atau tidak. Yang saya pegang adalah, 'you don't have to explain yourself to others'.
Saya beruntung saya pelupa, meskipun sakitnya tidak akan pernah terlupa. Setidaknya ada waktu untuk sembuh di antara timbul tenggelamnya trauma itu, dan saya secara perlahan merasa memiliki diri saya yang utuh lagi.
Permasalahan seperti ini klasik dan ada berbagai macam versi dan fase. Tapi jika victim tidak menemukan cara terbaik untuk melalui hal-hal klasik semacam ini, mungkin saja dampaknya akan tidak baik bagi dirinya.
Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, saya beruntung bisa sembuh, karena akhirnya terlatih acuh dan simply karena saya pelupa. Orang lain dengan masalah yang sama di luar sana, mungkin masih menangis dalam diam dan takut untuk menghadapi orang-orang seperti kawan saya. Cara menghadapi trauma antar individu jelas berbeda. Semua orang memiliki lajunya, lajurnya, dan caranya sendiri. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah ketahui tujuanmu, sebuah prinsip yang membuatmu merasa bahwa kamu pun bisa kuat untuk baik, bukan bahwa kamu pun bisa membalasnya. Entah baik karena kamu peduli dirimu sendiri atau baik dengan mengalihkan energi itu untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan dan menghargaimu.
Kepada semua orang yang sedang melewati fasenya sendiri, yakinlah bahwa semua ketidaknyamanan ini bukanlah untuk menghilangkan eksistensi kamu dalam lingkaran sosial, tetapi untuk menguatkanmu saat kamu tidak memliki siapapun lagi, saat kamu hanya seorang diri.
Seperti yang Maya Angelou pernah katakan, "You, alone, are enough". Apakah saya kenal siapa Maya Angelou? Tidak. Lalu, apakah kata-katanya bisa menyembuhkan saya? Ya.
Cukup miliki satu hal yang kamu percaya, dan kamu akan tumbuh ke arah cahaya yang kamu ciptakan dari keyakinanmu.
Malang
September, 25th 2018
01:32 a.m.
Komentar
Posting Komentar