MP #15 Kamu Lagi

Setelah berbulan-bulan lamanya, setelah sekian lama, di sinilah aku duduk menghadapmu, menumpahkan perasaan. Bukan perasaan indah karena jatuh cinta, bukan buncahan perasaan yang meledak-ledak. Ini tentang perasaan yang terlalu lama, sekaligus baru. Sangat asing dan familiar. Mungkin saja perasaan yang sama dengan beberapa purnama yang telah lalu.

Aku duduk di sini, memikirkan kamu. Tiba-tiba, di suatu senja, kamu melayang-layang di kepalaku. Bukan tengah malam atau pagi buta, waktu di mana biasanya aku selalu memanggil nama kamu, membayangkan bagaimana seharusnya kita bisa berakhir.

Oh, dan kalau kamu mau tahu, aku baik-baik saja sejak kali terakhir aku menulis untukmu. Semuanya bisa teratasi dengan baik. Tidak ada rasa sesak ataupun air mata, hanya rasa yang menyesap pelan-pelan lalu mengabur kemudian menghilang. Tapi kamu tidak pernah hilang, kan? Aku selalu tahu itu. Kamu? Apa kamu tahu hal itu?

Mungkin suatu saat, jika kamu membaca tulisan ini, kamu akan bertanya-tanya; apa yang membuatku kembali kepadamu? Setelah sekian lama, dengan keadaan yang manis dan baik, mengapa aku tiba-tiba merasa perlu untuk menuliskannya untuk kemudian dibaca oleh entah siapa lagi selain aku atau kamu?

Kamu tahu, liburan sudah tiba untukku. Tugas akhir sudah terlewati, dan aku menikmati segalanya sebagaimana seharusnya mahasiswi yang sudah selesai tanggungannya untuk satu semester. Kamu tahu, kan, aku suka membaca. Fiksi selalu memiliki tempat di daftar bacaanku dan aku menemukan fiksi yang ini. Bagus, menurutku sangat bagus. Meskipun tidak ada yang mengalahkan cerita kita, semenyedihkan apapun akhir cerita kita nanti. Secara umum, ini fiksi roman, tentang cinta dan jungkir-balik yang terjadi membalut kisah itu. Dalam satu dan lain hal, mengapa aku bisa begitu terhubung dengan cerita itu? Kisahnya dengan aku dan kamu tidaklah sama, tidak akan pernah sama. Mereka bicara dengan jelas mengenai perasaan satu sama lain, sementara kita di sini saling kirim sandi, kode, tanda, dan segala macam hal lain yang membutuhkan penafsiran dengan berbagai sudut pandang dan gaya bahasa. Mereka jelas, hanya saja tidak ingin mengakui. Kita, tidak pernah jelas, dan tidak pernah mengakuinya. Kapanpun itu.

Aku patah hati membaca cerita itu, hey, kamu. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku mungkin hanya seorang pembaca yang patah hati bagi siapapun yang melihatku saat itu, tapi tidak bagi kamu. Jika kamu melihatku, kamu akan tahu siapa yang ceritanya sedang kujalin dengan alur dan setting yang sama. Aku berfikir, bagaimana akhirnya jika cerita kita berjalan seperti fiksi yang ini atau yang itu? Akankah sama?

Aku sedih memikirkan kamu. Aku tidak tahu kamu ada di mana, tidak tahu apa yang kamu lakukan, tidak tahu apa jadinya kamu saat ini. Kamu menghilang tak tentu arah; ujar sebaris kalimat, entah di mana kubaca itu. Dan kamu, tahu, secara otomatis, seperti kepingan puzzle yang tidak pernah tertukar, selalu jatuh pada tempatnya, pikiranku selalu tertuju kepadamu. Entah mengapa setiap aku membaca kutipan-kutipan, puisi-puisi, sajak, pantun, cerita, atau apapun yang mengisyaratkan patah hati, aku selalu terpikir kepadamu. Entah mengapa kamu diasosiasikan dengan patah hati oleh pikiranku. Mungkin kamu memang patah hati terbesarku, tapi, hey itu kan sudah lama sekali. Kupikir hati itu harusnya hanya bisa patah satu kali untuk satu orang. Begitulah, entah kenyataannya seperti apa di luar sana.

Aku sedih, tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Aku tidak tahu harus memulai darimana. Aku tidak tahu harus mencarimu ke mana. Aku sudah malas mencari, tapi hatiku selalu mendamba kamu. Aku bisa saja meminta semua pertanda tentang kamu yang aku inginkan dari semesta. Tapi, sekali lagi, jika hanya aku yang mengartikannya, itu semua akan sia-sia, kita tidak akan pernah ada artinya.

Sepertinya aku salah, hey, kamu. Sekarang bukan hanya kalimat, frasa atau kata yang mengisyaratkan namamu. Bahkan satu dan dua huruf dari keseluruhan namamu di papan nama, banner atau baliho mampu membuat wajahmu terproyeksi sempurna dalam otakku. Kamu benar-benar hebat. Tentu saja, aku sudah berjanji mencintai pria hebat, hanya saja aku masih terlalu biasa-biasa saja bagi kamu. Kan?

Hey, kamu, cerita yang aku baca itu belum selesai, masih dalam proses pengerjaan. Kamu mau tahu apa jadinya saat cerita itu selesai? Kamu mau tahu akankah aku kembali lagi duduk seperti ini ketika semua konflik dalam cerita itu sudah jelas? Kamu tahu, aku pun ingin tahu kelanjutannya.

Malang, 13/05/2017
19.10 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Choked Out

Problems: An Issue on An Issue

Bonding